Jika Kamu Jadi Saya, Kamu Tidak Ingin Melakukan Apa pun Selain Menikmati Ketenangan. Kedengarannya aneh, tapi memang begitu kenyataannya. Setelah jantung berdebar usai menghitung hari, saya seolah tidak percaya dengan kehidupan baru yang akan saya jalani. Rasanya seperti mimpi...
Saya tidak ingin melakukan apa-apa. Cuma pengen diam saja. Menikmati ketenangan. Menikmati atmosfir baru di rumah saya. Tawaran nulis berbayar saya tolak. Rejeki nge-buzzer juga diabaikan. Tawaran job menulis di grup saya nggak ikutan. Saya lagi mager... dan banyak melamun.
Sejak tanggal 10 Mei 2017, dunia baru terbentang di hadapan saya. Kehidupan yang sudah lama saya impikan sejak lima tahun yang lalu. Saat itu, sejak berhenti merantau, takdir mempertemukan saya pada hari-hari penuh drama. Semua saya jalani. Dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Sepenuhnya demi sebuah kata: bakti.
Hal yang saya takutkan sebelumnya pun terjadi. Ibarat mesin waktu, saya yang berusia hampir kepala empat berubah wujud menjadi anak usia sekolah. Padahal saya adalah seorang ibu. Peran tersebut harus bolak-balik saya mainkan bergantian dengan rapi.
Meski disakiti, saya bukan pribadi yang suka mencari dukungan orang lain. Jangan sampai perasaan yang ada di kepala saya ini ketahuan oleh anak-anak sehingga mereka menjaga jarak dengan orang yang bersangkutan. Biarlah ini saya simpan sendiri dan image indah tentangnya tetap terjaga.
Setelah lama bermain drama, rasanya aneh jika saya bisa kembali menjadi diri saya sendiri lagi. Menjadi pribadi seperti pada waktu masih tinggal di rantau dulu. Hidup bahagia. Hanya saya, suami, dan anak-anak. Keluarga kecil yang bebas melakukan apa saja.
Jadi... sekarang bebas melakukan apa saja, kan? Serius nih? Beneran? Saya yang terbiasa ketakutan untuk berbuat apa pun jadi kagok dengan situasi ini. Ya Allah, terima kasih sudah mengabulkan doa-doa putus asa saya. Terima kasih sudah membuat saya sadar, bahwa mengakhiri hidup bukan jawaban untuk lepas dari masalah ini.
Selama lima tahun, saya tidak bisa bebas bergerak. Bahkan saya tidak bisa bernafas dengan tenang hingga terkena sakit kepala rutin seminggu dua kali. Hari-hari yang saya jalani cukup menegangkan. Mendengar suara langkah kakinya saja, saya sudah deg-degan. Mendengar caci makinya setiap hari, saya terpuruk dan menangis. Menyaksikan amukannya membuat lutut saya lemas dan bicara saya tergagap karena gemetar ketakutan. Dan kini... saya tidak akan mengalami hal itu lagi kan ya Allah?
Ketenangan. Sungguh? Sampai kapan? Saya begitu ketakutan jika harus mengulangi lagi masa-masa penuh drama itu. Begitu takutnya sampai mendengar dering telepon pun saya gemetaran. Membaca teror sms dengan ketakutan. Saat mengangkat telepon, saya tidak berani berbicara dan sering meninggalkannya bicara sendirian. Dan terakhir, sudah bisa diduga, makian jarak jauh pun dilontarkan. Lemas, saya menangis usai menerima telepon. Kesimpulannya, hidup saya belum sepenuhnya tenang.
Ketika telepon sedang tidak berbunyi, saya melihat segala sesuatunya bagaikan slow motion. Semua hal menjadi penting dan terkesan lebay. Misalnya, saat bersepeda ke tukang sayur. Ketika mengayuh sepeda dan angin menerpa wajah saya, saya merasa sangat bahagia. Saya bahagia bisa pergi ke tukang sayur tanpa beban. Bisa membeli bahan makanan tanpa rasa cemas lagi. Bebas menentukan mau masak apa. Tidak ada yang memaki dan menghina masakan saya. Juga, tidak dikejar waktu masakan harus siap sebelum jam 11 pagi.
Atau ketika saya menatap si bungsu Dd Irsyad. Tidak lama saya akan menangis, membayangkan betapa berharganya anak-anak bagi saya. Betapa payahnya saya selama lima tahun mengabaikan mereka.
Iya, saya mengabaikan anak sendiri. Mengabaikan masa depan demi mengejar masa lalu. Sibuk cari muka dihadapannya. Meski jawaban menyakitkan sudah saya dapatkan, saya masih saja cari muka...
Mengabaikan masa depan. Yaitu anak-anak saya. Hampir saja saya melakukan hal yang bodoh. Hal yang dulu pernah terjadi pada saya di masa kecil. Lalu, saya nyaris mengulangnya lagi kepada anak-anak?! Setali tiga uang dong! Mau jadi apa anak-anak nanti di masa mendatang? Jadi kayak saya lagi? Oh tidak! Jangan sampai!
Mengejar masa lalu. Seumur hidup, saya mencari pengakuan. Cari muka biar diperhatikan atau setidaknya dicintai sedikit. Sayang, yang saya lakukan tidak memuaskan baginya. Dan saya sendiri akhirnya mendapat jawaban atas hal yang selalu dipertanyakan. Sakit? Banget! Tapi saya cuma bisa pasrah. Mengakui takdir sebagai unwanted child yang terlahir untuk pelampiasan hidup seseorang.Itulah saya.
Setelah lima tahun, rasanya tidak percaya jika ini terjadi. Sebuah hidup baru. Tanpa banyak peraturan, tanpa larangan, tanpa caci maki, dan tanpa drama. Jika kamu jadi saya, kamu tidak ingin melakukan sesuatu selain menikmati ketenangan. Percayalah....
Saya tidak ingin melakukan apa-apa. Cuma pengen diam saja. Menikmati ketenangan. Menikmati atmosfir baru di rumah saya. Tawaran nulis berbayar saya tolak. Rejeki nge-buzzer juga diabaikan. Tawaran job menulis di grup saya nggak ikutan. Saya lagi mager... dan banyak melamun.
Sejak tanggal 10 Mei 2017, dunia baru terbentang di hadapan saya. Kehidupan yang sudah lama saya impikan sejak lima tahun yang lalu. Saat itu, sejak berhenti merantau, takdir mempertemukan saya pada hari-hari penuh drama. Semua saya jalani. Dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Sepenuhnya demi sebuah kata: bakti.
Hal yang saya takutkan sebelumnya pun terjadi. Ibarat mesin waktu, saya yang berusia hampir kepala empat berubah wujud menjadi anak usia sekolah. Padahal saya adalah seorang ibu. Peran tersebut harus bolak-balik saya mainkan bergantian dengan rapi.
Meski disakiti, saya bukan pribadi yang suka mencari dukungan orang lain. Jangan sampai perasaan yang ada di kepala saya ini ketahuan oleh anak-anak sehingga mereka menjaga jarak dengan orang yang bersangkutan. Biarlah ini saya simpan sendiri dan image indah tentangnya tetap terjaga.
Setelah lama bermain drama, rasanya aneh jika saya bisa kembali menjadi diri saya sendiri lagi. Menjadi pribadi seperti pada waktu masih tinggal di rantau dulu. Hidup bahagia. Hanya saya, suami, dan anak-anak. Keluarga kecil yang bebas melakukan apa saja.
Jadi... sekarang bebas melakukan apa saja, kan? Serius nih? Beneran? Saya yang terbiasa ketakutan untuk berbuat apa pun jadi kagok dengan situasi ini. Ya Allah, terima kasih sudah mengabulkan doa-doa putus asa saya. Terima kasih sudah membuat saya sadar, bahwa mengakhiri hidup bukan jawaban untuk lepas dari masalah ini.
Selama lima tahun, saya tidak bisa bebas bergerak. Bahkan saya tidak bisa bernafas dengan tenang hingga terkena sakit kepala rutin seminggu dua kali. Hari-hari yang saya jalani cukup menegangkan. Mendengar suara langkah kakinya saja, saya sudah deg-degan. Mendengar caci makinya setiap hari, saya terpuruk dan menangis. Menyaksikan amukannya membuat lutut saya lemas dan bicara saya tergagap karena gemetar ketakutan. Dan kini... saya tidak akan mengalami hal itu lagi kan ya Allah?
Ketenangan. Sungguh? Sampai kapan? Saya begitu ketakutan jika harus mengulangi lagi masa-masa penuh drama itu. Begitu takutnya sampai mendengar dering telepon pun saya gemetaran. Membaca teror sms dengan ketakutan. Saat mengangkat telepon, saya tidak berani berbicara dan sering meninggalkannya bicara sendirian. Dan terakhir, sudah bisa diduga, makian jarak jauh pun dilontarkan. Lemas, saya menangis usai menerima telepon. Kesimpulannya, hidup saya belum sepenuhnya tenang.
Ketika telepon sedang tidak berbunyi, saya melihat segala sesuatunya bagaikan slow motion. Semua hal menjadi penting dan terkesan lebay. Misalnya, saat bersepeda ke tukang sayur. Ketika mengayuh sepeda dan angin menerpa wajah saya, saya merasa sangat bahagia. Saya bahagia bisa pergi ke tukang sayur tanpa beban. Bisa membeli bahan makanan tanpa rasa cemas lagi. Bebas menentukan mau masak apa. Tidak ada yang memaki dan menghina masakan saya. Juga, tidak dikejar waktu masakan harus siap sebelum jam 11 pagi.
Atau ketika saya menatap si bungsu Dd Irsyad. Tidak lama saya akan menangis, membayangkan betapa berharganya anak-anak bagi saya. Betapa payahnya saya selama lima tahun mengabaikan mereka.
Iya, saya mengabaikan anak sendiri. Mengabaikan masa depan demi mengejar masa lalu. Sibuk cari muka dihadapannya. Meski jawaban menyakitkan sudah saya dapatkan, saya masih saja cari muka...
Mengabaikan masa depan. Yaitu anak-anak saya. Hampir saja saya melakukan hal yang bodoh. Hal yang dulu pernah terjadi pada saya di masa kecil. Lalu, saya nyaris mengulangnya lagi kepada anak-anak?! Setali tiga uang dong! Mau jadi apa anak-anak nanti di masa mendatang? Jadi kayak saya lagi? Oh tidak! Jangan sampai!
Mengejar masa lalu. Seumur hidup, saya mencari pengakuan. Cari muka biar diperhatikan atau setidaknya dicintai sedikit. Sayang, yang saya lakukan tidak memuaskan baginya. Dan saya sendiri akhirnya mendapat jawaban atas hal yang selalu dipertanyakan. Sakit? Banget! Tapi saya cuma bisa pasrah. Mengakui takdir sebagai unwanted child yang terlahir untuk pelampiasan hidup seseorang.Itulah saya.
Setelah lima tahun, rasanya tidak percaya jika ini terjadi. Sebuah hidup baru. Tanpa banyak peraturan, tanpa larangan, tanpa caci maki, dan tanpa drama. Jika kamu jadi saya, kamu tidak ingin melakukan sesuatu selain menikmati ketenangan. Percayalah....
saya percaya mba
ReplyDeleteMbak ini kisahnya mbak beneran, atau fiksi?
ReplyDeleteSepertinya 5 tahun yang memerlukan ekstra ketabahan dan kesabaran
Aku hanya bisa menduga duga mba, tapi Alhamdulillah hidup mba sekarang lebih tenang. Untuk anak anak, apapun harus dihadapi mba. Kalau demi anak, aku ga peduli dan ga akan carmuk. Aku akan nantang! Hehhee.. Selamat menikmati hidup yang damai ya mba. Btw aku udah follow blog nya mba, no.53
ReplyDelete