Monday, April 17, 2017

Menghitung Hari



Saat ini, saya tidak bersemangat mengerjakan apa pun. Selain karena badan masih dalam pemulihan karena lelah bolak-balik aplusan jaga di rumah sakit, pikiran saya tengah melayang pada satu hal. Saya malas ngeblog. Saya malas latihan motret dan mempostingnya di Instagram. Saya malas berinteraksi di grup chating. Saya malas aktif di sosial media. Saya malas masak. Saya malas jalan-jalan. Pokoknya saya malas mau ngapain aja...


  Beberapa hari sebelum boyz dirawat di rumah sakit, datang suatu kabar mengejutkan yang bakal mengubah hidup saya sekeluarga. Seolah tak percaya bahwa takdir ini dipercepat, saya bingung harus melonjak kegirangan sekaligus merinding ketakutan. 

  Euforia kebahagiaan tertutup oleh rasa takut. Memang, ketakutan ini pasti terjadi. Toh kejadiannya tidak akan berlangsung lama. Anggap saja ini sebagai senjata pamungkas alias ending. Ending dari drama yang sudah berlangsung selama hampir 6 tahun ini harus ditutup dengan sesuatu yang bombastis bukan? Jika tidak bombastis, rasanya aneh jika sang ratu drama bertindak adem ayem untuk sebuah ending yang dipercepat. 

  Membayangkan rencana ending yang sebenarnya saja, sang ratu drama sudah ketakutan dan mulai membuat rangkaian 'teror' drama dengan tujuan untuk mengubah ending. Saya, kami, yang sudah tidak kuat menghadapi drama terus menerus ini hanya bisa berdoa yang terbaik. Berterima kasih pada Allah bahwa akhirnya ada jalan keluar pada situasi ini pada bulan November mendatang.

  Dan ternyata, Allah Maha Baik, rencana itu bakal terwujud lebih cepat! Saya lega sekaligus ngeri. Lega semua ini akan berakhir sekaligus ngeri membayangkan reaksi sang ratu drama jika mendengar kabar ini. Bayangkan... ini bisa jadi seperti bom yang meledak! Apakah saya siap?

  Barangkali saya yang terlalu parno. Bisa saja reaksinya tidak sebombastis yang saya takutkan. Ah tidak. Pasti bombastis! Lihat saja apa yang terjadi dalam tiga minggu terakhir ini yang berujung dengan opname di rumah sakit akibat jantung berdebar akibat nge-drama selama dua minggu berturut-turut. 

  Ah ya... sebaiknya saya memang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi 'drama pamungkas'. Bersabarlah. Ini adalah drama terakhir. Drama perpisahan. Artinya drama itu haruslah sesuatu yang patut dikenang dan merupakan hantaman penutup untuk saya. Ibarat menghajar seseorang, pukulan terakhir adalah pukulan paling telak dan mematikan. Sudah siap? Saya harus siap! Karena takdir saya memang untuk dihajar olehnya.

  Belum sempat memikirkan strategi untuk menhadapi 'drama pamungkas', keluarga kami diuji dengan boyz yang sakit demam berdarah dan dirawat di rumah sakit secara bersamaan. Pada saat Kk Rasyad dalam kondisi kritis dan mengkhawatirkan, saya dihantui banyak pikiran buruk. Termasuk sebuah perayaan dari seseorang jika seandainya anak saya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Astaghfirullah...

  Detik-detik takut kehilangan itu menyadarkan saya, bahwa saya mencintai suami dan anak-anak melebihi segalanya. Saya kembalikan lagi, untuk apa saya hidup di dunia ini. Sebuah pengakuan menyakitkan yang saya tunggu seumur hidup sudah terucap. Misi saya selesai, karena ternyata itu hanya cinta yang bertepuk sebelah tangan. Saya lega. Meski untuk mendengar pengakuan itu saya harus menunggu sampai berumur 38 tahun.

  Saya harus move on. Menjalani hidup bersama orang-orang yang betul-betul mencintai saya, yaitu suami dan anak-anak saya. Hanya mereka yang membuat saya kuat menghadapi cobaan ini. Hanya mereka yang membuat saya sadar, bahwa mengakhiri hidup bukan jalan keluar yang tepat.

 Sekarang, saya sedang menghitung hari. Menunggu sebuah tanggal untuk mengungkapkan keadaan yang sesungguhnya. Bukan saya yang akan angkat bicara. Saya terlalu pengecut. Saya ketakutan. Oleh karena itu, suami saya yang akan melakukannya. Menghadap sang ratu untuk menjelaskan tentang rencana yang dipercepat tersebut. 

  Saya tidak berani ngomong. Saya takut disalahkan lagi. Baginya, saya dilahirkan untuk menjadi kambing hitam. Namun, dalam hal ini sebenarnya saya tidak salah. Tapi, saya harus menerima keadaan dan mengakui bahwa itu semua adalah kesalahan saya agar sang ratu drama puas dan bisa bebas mencaci maki saya seperti biasa. Bukankah saya sudah biasa dimaki dan direndahkan sepanjang hidup ini? Jadi, harusnya saya kuat! Kan sudah terbiasa...

Ya Allah, mohon kuatkan hati hamba. Membayangkan hari itu dan hari-hari selanjutnya sudah membuat saya gemetar (termasuk saat mengetik tulisan ini). 

Ya Allah, saya harus kuat. Beberapa bulan setelah waktu keberangkatan pasti akan berat. Tapi bayangkan, setelah itu keluarga ini akan kembali hidup tenang. Seperti saat masih di tanah rantau dahulu. Begitu tentram dan damai...

Back to Top