Wednesday, August 5, 2020

ART Tahan Banting



“Jangaaan!” kataku setengah berteriak. 

“Eh jangan ya?” nada kaget bercampur heran terdengar dari pembicaraan SLJJ antar pulau, tiga tahun silam.

Astagfirullah. Saya sadar, betapa tidak sopan bicara saya pada ibu mertua barusan.

“Jangan, Nek. Jangan kirim pembantunya duluan ke Eyang besok. Tunggu sampai kita datang dari Makassar.”

“Terus, gimana? Orangnya keukeuh pengen mulai kerja tanggal 2 besok. Kamu kan pulangnya minggu kedua. Kelamaan.”

“Ya sudah, suruh aja orangnya kerja di rumah Nenek dulu. Nanti kalau kita udah nyampe, baru pembantunya dibawa ke rumah. Sekalian Nenek kasih tahu tentang Eyang, biar dia siap dan nggak kaget.”

Itu sekilas pembicaraan saya dan Nenek, ibu mertua yang kini sudah almarhum, tentang pembantu baru yang beliau carikan untuk saya. Saya dan 3 boyz (Aa Dilshad, Kk Rasyad, dan Dd Irsyad) akan pulang dari Makassar ke rumah kami di Bogor. Selama merantau, rumah ditempati oleh Eyang, ibu saya. Melihat kondisi fisik Eyang yang kurang sehat, ditambah tiga anak yang masih kecil, saya meminta Nenek untuk mencarikan pembantu alias Asisten Rumah Tangga (ART).

Setelah mendapatkan ART untuk kami, Nenek berencana mengantarnya ke rumah Bogor, sebelum kami datang dari Makassar. Tentu saja saya menolak! Andai jika itu terjadi, dijamin, saat kami datang sang pembantu kemungkinan besar akan minta pulang alias berhenti.

Panggil saja: Umi Aan

Hari yang dinanti pun tiba. Saya dan 3 boyz kembali ke kampung halaman Bapa, tanpa Bapa ikut bersama kami. Yah, berpisah sementara terpaksa kami putuskan. Demi Aa Dilshad yang tidak bahagia bersekolah di Makassar.

Jangan tanya keriweuhan saya membawa tiga anak laki-laki berusia 9 tahun, 5 tahun, dan 1 tahun seorang diri! Yaaa gitu deh! Hehe. Nanti ada ceritanya sendiri. Yang penting, Alhamdulillah kami berempat sampai dengan selamat.

Tiba di rumah, keluarga sudah menunggu kedatangan kami, termasuk Nenek dan sang ART baru. Kami pun berkenalan. Nenek meminta kami memanggilnya: Umi Aan.

Umi Aan berperawakan gemuk. Bahkan lebih gemuk dari Eyang. Usianya sekitar lima puluhan. Agak kecewa juga, kenapa Nenek mendapatkan ART yang sudah tua? Saya khawatir Umi Aan tidak bisa maksimal dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tapi, ya sudahlah. Ada yang bantu juga saya sudah bersyukur banget. Daripada semua dikerjakan sendirian. Betul tidak?

Sebenarnya, saya sudah punya ART di Bogor yang bertugas membantu Eyang. Tapi dia tidak menginap alias pulang pergi dan hanya bekerja di rumah selama empat jam setiap hari. Namanya Mbak Titin. Dia sudah bekerja pada saya selama 4 tahun, sejak usianya 12 tahun. Dua tahun saat kami sekeluarga tinggal di Bogor, dan dua tahun membantu Eyang selama kami di rantau. Saya membutuhkan ART menginap karena Mbak Titin akan diangkat menjadi karyawan toko obat yang akan saya dirikan (sekarang sudah berjalan).

Hari-hari awal ada ART yang bekerja di rumah dengan Eyang bersama kami, dibutuhkan pendampingan khusus agar mereka tidak mengundurkan diri. Dengan sabar, saya harus mamagahaneh apa ya istilah tepatnya membimbing dan memberi tahu segalanya tentang Eyang.

Begitu pula dengan Umi Aan. Sama seperti Mbak Titin dulu, saya harus banyak meminta pengetian mereka agar memaklumi kondisi Eyang. Saya bahkan tidak segan-segan meminta maaf agar mereka tidak sakit hati. Syukurlah, Mbak Titin bisa sabar karena sudah tahan banting bertahun-tahun menghadapi Eyang.

Lantas, bagaimana dengan Umi Aan? Sayangnya, Umi Aan juga manula yang perasaannya sensitif. Hasilnya, Eyang dan Umi Aan, kedua wanita lanjut usia ini sering bersilang pendapat di rumah kami. Rumah saya dan anak-anak bersebelahan dengan rumah Eyang. Jadi, Umi Aan setiap hari bolak-balik antara kedua rumah berukuran mungil tersebut. Masalah yang sering diributkan adalah pelayanan Umi Aan yang kurang maksimal karena sering riweuh di rumah saya dengan Dd yang masih bayi dan Kk yang belum bersekolah.

Partner kerja Umi Aan

Akhirnya, agar Eyang bisa terlayani dengan baik, saya terpaksa mengambil satu ART lagi. Duh, gaya amat, ya, punya dua pembantu! Eit, ART untuk Eyang digaji oleh Kakak saya. Saya mah, duh bisa mpot-mpotan deh. Kan saya masih ngegaji Mbak Titin sebagai karyawan toko. Kalau saya juga yang menggaji ART-nya Eyang, berarti ada tiga asisten yang kudu digaji. Hadeuh!

Partner kerja Umi Aan yang pertama adalah sepupu Umi Aan sendiri, Bi Titih. Orangnya kurus dan banyak kutu. Setelah orang serumah pakai obat pembasmi kutu dan sembuh, masalah baru datang lagi. Bi Titih suka mengutil! Meski kerjanya sergep dan rajin, kekurangan Bi Titih lainnya adalah orangnya suka bergosip! Ditambah, rumah dengan tiga ya TIGA nenek-nenek ini membuat situasi makin panas! Mereka berseteru satu sama lain! Halah. Pusing saya! Ya sudah, baru tiga minggu kerja sudah saya pecat!

Partner kerja kedua, adik kandung Umi Aan yaitu Bi Yati. Yaelah, kenapa nenek-nenek lagi?! Yah, nemunya cuma itu. Feeling saya sudah nggak enak. Benar saja, hanya sebulan Bi Yati tinggal bersama kami. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan karena TIGA nenek-nenek tidak mungkin bisa bersatu. SATU nenek saja memerlukan penanganan khusus. DUA nenek perlu kesabaran ekstra. Sedangkan iniTIGA? You killing me! Rumah rame lagi! Sudah sudah, pulangkan saja yang satu *tempelkoyo*

Akhirnya, Umi Aan terpaksa bersolo karir. Saya dan suami (yang sudah kembali dari rantau) membuat peraturan baru: gaji tetap, tidak dinaikkan, tapi kerjaan dikurangi. Saya ikut turun tangan mengerjakan perkerjaan rumah tangga. Setiap hari, saya menyapu, mengepel dan bebenah rumah saya sendiri. Biar Umi Aan konsentrasi menyapu dan mengepel di rumah Eyang. Bahkan, saya juga yang menyapu kedua halaman rumah dan membersihkan kotoran kucing-kucing liar peliharaan Eyang.

Umi Aan difokuskan untuk melayani Eyang. Tugas mencuci, memasak, menjemur baju, menyetrika tetap dia lakukan. Membantu saya mengurus anak-anak juga, jika Umi Aan sedang available alias lagi nggak ‘dipake’ sama Eyang.

Aman? Belum. Masih saja ada lontaran konflik sebagai wujud dari rasa tidak puas. Ok, baiklah. Kali ini saya ambil langkah agak ekstrim: Umi Aan SEPENUHNYA bekerja untuk Eyang, digaji oleh Kakak saya. Sedangkan saya, tidak punya ART. Saya mencuci baju sendiri, memasak, dll. Sedangkan Umi Aan stand by di rumah sebelah agar selalu siap jika Eyang membutuhkan.

Saya sih, tidak masalah menjalani peraturan baru ini. Biasa di rantau nggak punya pembantu. Situasi ini membuat hati Eyang senang. Namun, tidak dengan Umi Aan. Tiba-tiba saja Umi Aan jadi pemurung. Akhirnya, Umi Aan mengutarakan keberatannya dengan peraturan ini dan meminta untuk kembali bekerja pada saya. Alasannya, “Dulu kan Umi ke sini karena di bawa Nenek. Nenek pesan supaya bantuin Eneng (panggilannya kepada saya), bukan Eyang.” Akhirnya, Umi Aan kembali berkerja pada kami seperti semula.

Kelebihan dan kekurangan Umi Aan

Manusia tidak ada yang sempurna. Demikian juga dengan Umi Aan. Ada kelebihan dan kekurangan. Selama bekerja pada kami, saya merasa terbantu dengan kehadiran Umi Aan. Kelebihan Umi Aan yaitu: pinter masak (bahkan rasa masakannya mirip dengan buatan alm.Nenek), dan telaten mengurus anak-anak saat saya tidak ada di rumah.

Kekurangannya: karena sudah tua, Umi Aan agak sulit dinasehati dan suka menggerutu. Orangnya cerewet dan selalu usil ingin tahu urusan orang lain. Kalau belanja ke warung, kadang uang kembalian suka dikurangi.

Kesabaran itu ada batasnya

Tidak terasa, sudah tiga tahun lebih kebersamaan kami dengan Umi Aan. Sayang, karena faktor usia, kinerja Umi Aan kini semakin menurun kualitasnya. Tubuhnya pun mulai sakit-sakitan. Saya jadi tidak tega jika Umi Aan terus bekerja. 

Seharusnya orang seperti Umi Aan sudah pensiun dan bersantai di rumah bersama anak dan cucu. Sayang, Umi Aan hanya punya satu anak laki-laki. Umi Aan mencari uang untuk memperbaiki rumah yang kelak ingin ditempati bersama anak dan cucunya. Umi Aan juga perlu terus bekerja untuk modal menikahkan sang anak. Jadi, jika Umi Aan pasti dia akan mencari kerja di tempat lain jika kami berhentikan.

Masih ingat pernyataan saya tentang DUA nenek perlu kesabaran ekstra? Ya, itulah yang terjadi. Dua kubu saling melemparkan pendapat, merasa paling benar. Keduanya sama-sama suka mendramatisir situasi untuk mencari perhatian. Saya bilang A, diubah jadi B. Saya konfimasi, keduanya saling tuduh. Tiada hari tanpa drama. Air mata sudah tidak bisa dibendung lagi, bahkan amukan kerap terjadi. Saya harus bagaimana? Kesabaran saya ada batasnya. Tentu saja saya harus pilih salah satu. Dan pilihannya tidak lain dan tidak bukan adalah menyingkirkan Umi Aan. Demi keamanan.

Sampai jumpa lagi, Umi Aan

Bulan puasa tahun 2014 adalah bulan terakhir kebersamaan kami dengan Umi Aan. Tiga hari sebelum Lebaran, Umi Aan sudah mengantongi ijin untuk pulang kampung. Rencananya, saya tidak akan memintanya untuk kembali lagi ke rumah. Umi Aan diberhentikan. Saya berikan uang sebesar tiga kali gajinya. Yang pertama, uang gaji bulan ini. Kedua, uang THR. Ketiga, uang pesangon.

Lantas, apakah saya akan mencari pengganti Umi Aan? Tidak. Sudah cukup. Saya tidak ingin ada konflik lagi. Biarlah saya menangani semuanya sendiri. Toh, Aa akan tinggal di pesantren, Kk sudah besar, dan Dd sudah bisa mandiri. 

Jadi, saya bisa fokus pada Eyang. Soal pekerjaan rumah, sepertinya saya akan berlangganan laundry kiloan. Masak cari yang gampang saja. Jaga toko harus mengajak Dd setiap hari. Kalau ditinggal, mau dititipkan pada siapa? Saya juga masih punya Mbak Titin yang bisa diberdayakan. Jika pelayanan saya kurang memuaskan bagi Eyang, tinggal panggil Mbak Titin dan toko ditutup. Gampang kan.

Dengan situasi tanpa ART, saya harap Eyang berubah dan mau bergerak. Andai kondisi psikologisnya menjadi makin parah, terpaksa saya cari ART lagi. Dan saya harus mendapatkan ART yang tahan banting! Siap dibully lahir batin, hehe.

Tiba waktunya saya dan suami menyampaikan perihal pemberhentian dirinya, Umi Aan terlihat sedih dan meneteskan air mata. Kami tidak mengatakan alasan sesungguhnya mengapa dia diberhentikan. Kami hanya bilang bahwa kami sedang melakukan penghematan karena iuran bulanan sekolah baru untuk Aa yang lumayan besar jumlahnya. Ditambah akan ada banyak pengeluaran di masa mendatang yang harus dipertimbangkan. Intinya, kami tidak sanggup mempekerjakan Umi Aan lagi.

Sedih. Ya, saya sedih. Semua ART yang pernah bekerja pada saya tidak pernah ada masalah. Namun, semua menjadi istimewa jika melibatkan Eyang. Saya bisa ikhlas. Saya bisa sabar. Karena saya adalah anak beliau. Beda dengan ART. Mereka bukan siapa-siapa Eyang. Wajar jika sudah banyak ART yang mengundurkan diri. Umi Aan termasuk hebat, lho. Dia sanggup bertahan selama tiga tahun! Pengalaman sebelumnya, ART yang menginap hanya bertahan 3 bulan. Bahkan ada yang cuma kuat 8 hari dan menangis minta pulang!

Terima kasih ya, Umi Aan. Sudah mau membantu kita selama ini. Apalagi Dd yang sudah apet sama Umi karena sering ditinggal Ibu ke toko. Umi juga bantu banget waktu menyapih Dd. Dd tidur semalam sama Umi supaya lupa mimik. Untungnya, besok Dd sudah lupa karena diajak main terus. Maafin kita ya, Umi, kalau ada salah-salah kata. Maafin Eyang. Hati-hati ya, Umi. Jaga kesehatan. Rumah Umi kan nggak jauh dari rumah Kakek. Jadi, kita masih bisa ketemu. Sampai jumpa lagi Umi!

(Postingan lama ini pernah tayang di Blog Detik yang sudah menjadi kenangan, Diposting ulang untuk dokumentasi. Sekarang Umi Aan tidak bekerja lagi karena sudah sering sakit-sakitan. Sedangkan Eyang sudah tiada pada bulan November 2019),

No comments :

Post a Comment

Mohon meninggalkan berkomentar yang sopan.
Komentar dengan link hidup akan saya hapus.

Terima kasih ^_^

Back to Top