Waktu kecil. saya sempat punya cita-cita pengen jadi dokter gigi atau arsitek. Lambat laun, cita-cita itu memudar karena ada cita-cita lain yang lebih diimpikan. Cita-cita saya adalah adalah ingin bahagia. Ya, saya memang tidak punya keinginan mau jadi apa selain ingin bahagia. Boleh dibilang, saya memang anak yang aneh pada saat itu.
Karena tidak punya motivasi, maka saya tumbuh menjadi remaja yang sering galau nggak jelas. Gimana nggak jelas, ditanya cita-cita pengen jadi apa malah nggak tahu. Sampai mau lulus SMA pun saya masih bingung mau berprofesi dan berkarir di bidang apa nanti. Pokoknya, jadi apa saja yang penting saya bahagia!
Kenapa saya sampai nggak punya cita-cita seperti anak normal pada umumnya? Alasannya: saya tidak punya tujuan hidup. Bahkan saya sendiri mempertanyakan untuk apa saya dilahirkan. Saya lahir dengan label unwanted child. Kondisi itu membuat saya mendapat perlakuan ‘istimewa’ pada masa kanak-kanak. Ketidaknyamanan selama masa kecil itulah membuat otak saya hanya mendambakan yang namanya bahagia.
Sempat terlintas di kepala, apa yang terjadi jika saya terlahir sebagai anak laki-laki? Apakah saya bisa bahagia? Mungkin saja. Jadi ingat tulisan Mbak Nurin yang berjudul Laki-laki Hidup Lebih Bahagia, Kok Bisa? Dalam tulisan tersebut menyatakan hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) terhadap penduduk laki-laki menunjukkan Indeks Kebahagiaan sebesar 71,12. Sedangkan Indeks kebahagiaan penduduk perempuan nilainya lebih rendah yaitu sebesar 70,30.
Mengapa laki-laki bisa hidup lebih bahagia? Laki-laki dan perempuan selain berbeda secara fisik juga mempunyai kebutuhan yang berbeda. Termasuk dalam hal menyikapi permasalahan dalam hidup, laki-laki lebih rasional dan perempuan lebih banyak menunjukkan emosinya. Hayo, ngaku nggak?
Menyambung ke kisah saya. Bagaimana seandainya jika saya terlahir sebagai laki-laki? Apakah saya bakal lebih bahagia? Belum tentu. Rahasia takdir ada di tangan Tuhan. Buktinya, setelahmendaki gunung lewati lembah jalan kehidupan yang berliku, akhirnya saya yang berjenis kelamin perempuan ini bisa hidup bahagia sekarang. Alhamdulillah.
Sedikit berandai-andai jika saya jadi laki-laki. Pastinya, saya mendapatkan apa saja yang saya inginkan ketika masih anak-anak. Semua kebutuhan akan terpenuhi dan saya tumbuh menjadi pribadi yang hebat. Apalagi kalau wajah saya tampan, dijamin jadi idola emak-emak buat jadi mantu. Halah, ngarang banget yak! Yang pasti saya nggak bakal jadi kayak sekarang ini, yaitu jadi emak blogger. Kan saya bapak-bapak dan belum tentu saya doyan ngeblog kalau jadi laki-laki, hehe.
Setelah menikah dan punya anak, saya baru paham akar permasalahan ketidakbahagiaan saya selama ini. Akhirnya, saya bisa move on. Kini, saya tidak menyalahkan diri sendiri lagi, tidak menyalahkan orang yang membuat saya tidak bahagia, tidak menyalahkan keadaan, apalagi sampai menyalahkan Tuhan. Astaghfirullah. Saya, memutuskan untuk berdamai dengan keadaan. Menerima kenyataan dan menjalaninya dengan ikhlas lillahi ta'alla.
Mengapa laki-laki bisa hidup lebih bahagia? Laki-laki dan perempuan selain berbeda secara fisik juga mempunyai kebutuhan yang berbeda. Termasuk dalam hal menyikapi permasalahan dalam hidup, laki-laki lebih rasional dan perempuan lebih banyak menunjukkan emosinya. Hayo, ngaku nggak?
Menyambung ke kisah saya. Bagaimana seandainya jika saya terlahir sebagai laki-laki? Apakah saya bakal lebih bahagia? Belum tentu. Rahasia takdir ada di tangan Tuhan. Buktinya, setelah
Sedikit berandai-andai jika saya jadi laki-laki. Pastinya, saya mendapatkan apa saja yang saya inginkan ketika masih anak-anak. Semua kebutuhan akan terpenuhi dan saya tumbuh menjadi pribadi yang hebat. Apalagi kalau wajah saya tampan, dijamin jadi idola emak-emak buat jadi mantu. Halah, ngarang banget yak! Yang pasti saya nggak bakal jadi kayak sekarang ini, yaitu jadi emak blogger. Kan saya bapak-bapak dan belum tentu saya doyan ngeblog kalau jadi laki-laki, hehe.
"Sukur nggak jadi cowok. Kalo iya, bisa nyaingin gue!" kata Mas Nunu |
Setelah menikah dan punya anak, saya baru paham akar permasalahan ketidakbahagiaan saya selama ini. Akhirnya, saya bisa move on. Kini, saya tidak menyalahkan diri sendiri lagi, tidak menyalahkan orang yang membuat saya tidak bahagia, tidak menyalahkan keadaan, apalagi sampai menyalahkan Tuhan. Astaghfirullah. Saya, memutuskan untuk berdamai dengan keadaan. Menerima kenyataan dan menjalaninya dengan ikhlas lillahi ta'alla.
Cerita sedikit, ya. Beberapa bulan yang lalu, masa-masa sulit dalam kehidupan saya baru saja berakhir. Setelah bertahan selama lima tahun, Allah mengabulkan doa saya dan bisa lepas dari masalah ini. Masalah yang sempat mengganggu kehidupan rumah tangga saya. Masalah yang membuat saya terlihat kacau di depan anak-anak. Masalah yang pernah membuat saya ingin mengakhiri hidup untuk kedua kalinya (yang pertama waktu masih SD).
Untung saja saya masih sadar bahwa perbuatan yang terakhir itu tidak baik. Perbanyak doa dan istighfar membuat saya sadar dan menjadi kuat. Percayalah, saya bukan orang sakti karena sempat ingin menyerah saat menghadapi masalah. Saya tersadarkan berkat kutipan ayat suci Al Qur'an pada gambar berikut:
Sumber: www.ilmutafsir.com
|
Semua masalah dalam hidup adalah ujian untuk naik kelas, menuju tahapan diri yang lebih baik dari sebelumnya. Dan Allah SWT tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Saya tidak akan membahas mengenai ayat ini lebih lanjut karena keimanan saya masih rendah.
Saya hanya ingin berbagi tentang bagaimana berdamai dengan keadaan bisa menjadi cara mudah meraih kebahagiaan di tengah himpitan masalah. Yaitu:
3) Ada hikmah di balik musibah.
Pasti ada manfaat yang bisa dipetik dari permasalahan yang sedang dihadapi. Seperti menjadi lebih dewasa, jadi lebih sabar, jadi lebih dekat dengan suami, dan sebagainya.
Atau bahkan mencari kambing hitam dari masalah yang sedang dihadapi. Jika sudah dalam fase menyalahkan, selanjutnya bisa tumbuh rasa benci dan menjadi masalah baru.
Eia, berdamai dengan keadaan kan ada di dalam hati. Tapi prakteknya dalam kehidupan sehari-hari susah, nih! Apalagi dalam keseharian kita, masalah kerap muncul dan mengganggu ketenangan. Mau beraktivitas jadi kepikiran melulu. Huuffftt, tarik napas dulu, tenangkan diri. Sabar Mak, sabar...
Kalau masalahnya berat banget, gimana? Boleh curhat nggak? Ya boleh, dong! Jangan lupa untuk curhat pada Tuhan saat berdoa. Belum lega? Kita bisa curhat pada sesama manusia, bisa juga dengan menulis di buku harian atau blog yang diseting privat (biar nggak dibaca banyak orang).
Saya bersyukur punya teman berbagi yang menguatkan saya untuk bertahan pada masa itu. Saya punya suami yang sabar luar biasa mendampingi istrinya yang hobi ngegalau. Ada Kakak dan Papi saya yang nggak bosen dengerin curhat tentang keributan yang timbul setiap hari di rumah saya. Ada beberapa tetangga dekat yang bersedia jadi tempat sampah. Sedangkan di media sosial, saya menghindari banget untuk curhat karena masalah privacy.
Saat galau melanda, untuk mengalihkan perhatian saya menyibukkan diri di toko obat dan lebih giat menulis blog. Toko obat akhirnya harus tutup karena tidak direstui dan lebih banyak mendapat cacian daripada pujian dari seseorang. Selanjutnya, kegiatan difokuskan pada ngeblog. Saya aktif mengelola tiga blog dan rutin mengisinya seminggu sekali.
Mencari kesibukan lain memang bisa menjadi pengalihan masalah. Pengalihan lho, bukan pemecahan masalah. Cari kegiatan yang disukai dan mulai geluti secara aktif. Lebih bagus lagi jika kegiatan tersebut bisa menghasilkan uang. Misalnya membuat kerajinan tangan. Galau tersalurkan, rejeki datang.
Meski tengah dihimpit masalah, sepercik kebahagiaan tetap bisa kita nikmati. Jika kita sudah berdamai dengan keadaan, masalah akan berlalu dengan sendirinya. Semua akan indah pada waktunya. Badai pasti berlalu. Keep strong ya!
Postingan ini adalah collabs post KEB kelompok Mira Lesmana
dengan tema perempuan dan kebahagiaan
Kayaknya Mbak bisa mendapat banyak masukan agar tudak galau lagi jika baca bukunya Sendy Hadiat yang berjudul Menemukan-Mu dan Menemukannya. Maaf Mbak, just info...
ReplyDeleteIntinya itu berserah diri kepadaNya ya mbak, lapang dada,dan syukur kunci bahagia
ReplyDeleteinspiring bgt artikelnya mba :), makasih yaaa..
ReplyDeleteSaat kita mulai memahami apa hikmah dibalik ketidakbahagiaan itu, sepertinya mulai bisa berdamai ya. Eh itu kenapa fotonya kang Nunu, saya gak bisa move on lihat wajahnya haha
ReplyDeleteMba Inna, semoga tak terulanglagi ya apa yang sempat terjadi dulu. Smoga hobi positif mba Inna bisa memberikan kedamaian dan kebahagiaan :. Ketjup manjaaa :)
ReplyDeleteAlhamdulillah jika sudah sampai ke tahap penerimaan. Bahagia bisa kita ciptakan sendiri ternyata, ya. Tipsnya jempol. :)
ReplyDeleteTulisan yang bagus :) Tapi psikiaterku juga bilang begitu lho, kalau galau cari kegiatan. Memang gak menyelesaikan masalah tapi pikiran dan fisik yang aktif bisa bikin kita semakin positif :)
ReplyDeleteJangan lupa bahagia Mbak Innakuuu. Jadi perempuan emang wajib luwes ngurus hati. Ahaha. Btw pas aku kecil cita2ki juga berubah2 lho, maksudnya masih weird mau jadi apa.
ReplyDeleteaku mbak... terkadang masih cari kambing hitam, padahal itu enggak menyelesaikan masalah... terima aksih sudah diingatkan...
ReplyDelete