Sunday, June 11, 2017

Rumah Tanpa Pagar



Rumah tanpa pagar semula jadi tujuan saya dan suami karena keterbatasan biaya. Membuat pagar rumah belum jadi prioritas bagi kami karena belum bisa menempati rumah sendiri dan masih merantau. Rumah tipe 36 di Bogor yang kami beli pada tahun 2004 dikontrakkan selama tiga tahun oleh teman kantor Bapa. 

  Pada tahun 2007, Bapa pindah tugas dari Denpasar ke Jakarta. Setelah menempati rumah sendiri selama 2 tahun, kami kembali merantau. Rumah tidak dikontrakkan lagi, melainkan diisi oleh Eyang, ibu saya. Selama menempati rumah tersebut, tetangga sebelah kiri, tetangga depan, dan tetangga di sebelah tetangga depan sama-sama belum mempunyai pagar rumah. Keempat rumah yang saling berhadapan dan tidak mempunyai pagar ini tampak serasi. Sambil bercanda, deretan rumah itu kami namai klaster, singkatan dari kelas teri. Bukan cluster yang berupa pemukiman mewah. Tapi kelas teri karena kami tidak mampu memagar rumah sendiri, hihihi.

Cluster beneran :D (foto: pixabay)

   Sebelum kembali merantau untuk pindah ke Palangkaraya, saya dan Bapa sempat berbincang dengan para tetangga klaster ini. Halaman yang luas tanpa terhalang pagar membuat anak-anak bebas bermain dari halaman rumah yang satu ke halaman rumah yang lain. Kayaknya kalau kompakan terus jadi klaster enak ya. 

  Suasana klaster ternyata tidak berlangsung lama. Saat mudik, salah satu tetangga klaster sudah membuat pagar. Disusul tetangga sebelahnya pada tahun berikutnya. Akhirnya tingga tersisa rumah saya dan rumah di sebelah yang belum memiliki pagar. Sedangkan tetangga satu gang semuanya sudah punya pagar tembok yang kokoh. Minder? Nggak juga. 

  Rumah di sebelah saya adalah rumah kontrakan, jadi belum memungkinkan untuk dipagar. Pada tahun 2011, rumah tersebut akhirnya saya kontrak. Saya mengontrak rumah sebelah untuk Eyang karena kami sekeluarga sudah berhenti merantau dan akan menetap di Bogor. Kenapa harus ngontrak? Saya sudah punya tiga anak. Satu rumah kecil tidak cukup jika harus tinggal bareng dengan Eyang. Jadi, satu rumah khusus untuk Eyang karena barang-barang beliau juga cukup banyak dan tidak muat jika digabung dengan barang-barang milik keluarga saya.

  Begitu pindahan dari Makassar, saya langsung merenovasi rumah kontrakan agar nyaman ditempati oleh Eyang. Mengecat ulang, mengganti kloset jongkok jadi kloset duduk, merapikan halaman belakan rumah, dan membuat pintu penghubung di bagian belakang rumah (tembok rumah saya dijebol dan dijadikan pintu agar bisa bebas keluar masuk antara dua rumah).

  Saya juga membuat pagar. Tidak mau pagar permanen karena rumah sebelah bukan milik saya. Saya memesan pagar dari bambu. Hasilnya cantik sekali! Para tetangga pun memuji keelokan dan betapa eksotisnya pagar bambu kami. Ehm!

Pagar bambu kesayangan
   Dengan dua rumah yang menyatu dalam satu pagar, halaman rumah kami pun jadi terasa luas. Iya lah, kan gabungan dari halaman rumah saya dan halaman rumah (kontrakan) Eyang. Si bungsu Dd Irsyad yang baru belajar jalan pun leluasa main di halaman tanpa cemas bakal kabur ke jalanan :D

  Sayang, indahnya pagar bambu ini tidak bertahan lama. Setelah dua tahun, pagar ini pun roboh! Hadeuh! Kami pun kembali tidak punya pagar rumah lagi. Sedih? Lumayan. Yah namanya juga pagar sementara. Mudah-mudahan ada rejeki buat bisa bikin pagar betulan, aamiin.

  Masa-masa rumah tanpa pagar pun kami alami lagi. Halaman rumah kami kembali menjadi taman bermain anak-anak tetangga. Setiap sore, anak-anak TPA yang sedang mengaji di depan rumah pun ikut main di halaman kami. Saya sih tidak keberatan. Namanya juga anak-anak, biarkan saja mereka bermain sepuas hati.

  Ada saatnya saya mulai terganggu kalau mereka sangat berisik ketika saya sedang kurang enak badan dan butuh istirahat. Kadang koleksi bunga di halaman rumah jadi korban kreativitas anak-anak. Kalau Eyang sudah pasti sangat benci dengan kehadiran anak-anak yang bermain di halaman ini. Yah mau bagaimana lagi... salah sendiri kenapa nggak punya pagar, hehehe.

   Sampai suatu hari, Bapa punya rencana ingin memagar rumah. Alasannya, kasihan dengan mobil dinas yang selama ini digunakan. Selain pagar untuk keamanan, pasang kanopi di atas tempat parkir mobil bisa melindungi mobil dari panas dan hujan. Biar mobilnya terawat gitu. Karena rumah Eyang (kontrakan) bukan rumah sendiri, jadi kami mau 'berpisah' membuat pagar di rumah kami saja. Ya iya lah, masa mau bikinin pagar buat rumah orang lain? Kalau pagar sementara kayak pagar bambu tempo hari sih nggak apa-apa. Tapi kalau permanen? Duh, bisa tekor buat kami yang ngontrak rumah!

  Sebelum niat mager (bukan males gerak) rumah dilaksanakan, tentu saja saya minta ijin dulu kepada Eyang. Saya jelaskan bahwa kami memagar rumah supaya mobil kantor bisa terawat dengan baik (siapa tahu nanti bisa jadi milik sendiri, aamiin). Toh rumah yang dipagari di depan tidak menghalangi Eyang untuk bisa bolak-balik ke rumah saya karena ada pintu penghubung di belakang. Kenyataannya, Eyang memang jarang masuk ke rumah saya lewat jalan depan dan lebih suka masuk lewat pintu belakang.

  Eyang menjawab setuju. Saya pun lega dan melapor pada Bapa kalau mager rumah sudah di acc. Tidak berapa lama kemudian, saya mendengar kabar lain. Usai minta ijin, Eyang langsung marah-marah pada Umi Aam (ART saya pada saat itu). Katanya, " Tuh, dia mau mager rumah! Sekalian aja pasang kawat duri! Biar Eyang nggak bisa lewat!" 

  Akhirnya, rencana mager rumah pun batal... Kami pun kembali pada hari-hari tanpa pagar. Dimana drama tetangga sebelah rumah saya semakin seru saja akibat rumah yang tidak 'dilindungi'. Misalnya, ibu-ibu yang menunggu anak-anaknya bubar dari TPA numpang berteduh di teras rumah Eyang. Saya sudah katakan agar mereka berteduh di teras rumah saya, tapi mereka lebih suka duduk-duduk di teras rumah Eyang. Memang, rumah Eyang selalu kelihatan sepi dan tertutup rapat. Tapi mereka tidak tahu, dibalik pintu itu ada yang mengomel panjang lebar karena terganggu.

  Atau anak-anak yang kerap berlarian dan bermain di halaman rumah Eyang. Paling enak main sepeda atau roller blade melintasi rumah saya dan rumah Eyang. Apalagi jalannya agak sedikit menurun, jadi berasa lagi serodotan jika meluncur dari tempat parkir ke jalanan. Saya sih nggak keberatan. Tapi Eyang mulai marah jika anak-anak menginjak teras rumahnya. Jika saya pergoki, pasti mereka saya beritahu baik-baik untuk pergi. Tapi, saya nggak bisa selamanya jadi satpam kan?

  Hingga suatu hari... akhirnya kami bisa memagar rumah sendiri. Yaitu ketika sang empunya kontrakan rumah datang untuk menempati rumahnya sendiri. Eyang pun pindah ke Bandung, ke rumah adik saya. Begitu Eyang berangkat, pintu penghubung dan jendela terbuka di belakan rumah saya tutup. Karena rumah sebelah bukan rumah Eyang lagi dan harus ditutup untuk privasi keluarga saya dan tetangga sebelah penghuni barunya.

  Rasanya tidak percaya... kami bisa mager rumah juga! Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Pagar rumah memang penting untuk warga yang tinggal di komplek pemukiman padat seperti kami. Demi keamanan dan privasi. Indahnya masa-masa punya rumah klaster pun berakhir. Oia, selain lega untuk tempat anak-anak bermain, rumah klaster tanpa pagar juga punya kelebihan lain lho! Yaitu jarang didatangi salesman! Mungkin mereka pikir kami nggak bakalan tertarik untuk beli produknya, gimana mau beli produk wong mager rumah saja nggak mampu, hahaha!

8 comments :

  1. Alhamdulillaah akhirnyaa ya mbaak bisa mager jugaaa. . Hehehe ya meskipun enak juga tanpa pager karena halamannya bisa luas tp yaitu susah meminimalisir masuknya org ke halaman. . Tulisannyaa enak banget dibaca mbaak. Ngalir dan serasa merasakan kondisi rumah klaster. . Hehehe

    ReplyDelete
  2. Akhirnya dipagar rumahnya ya, Mbak :D

    ReplyDelete
  3. Akan indah pada waktunya ya Teh, hehehe.
    Halaman rumah sayapun pernah tanpa pagar, trus pakai pagar tanaman hidup + bambu, baru akhirnya pagar tembok + besi. Itupun cuma 1 meter, biar masih bisa saling sapa & jojorowokan dgn tetangga yg lewat :D

    ReplyDelete
  4. alhamdulillah di pagar juga ya mbak..
    pagar kalo aku sih biar aman dan nyaman aja..
    hihii..
    sekarang aku mau bangun rumahnya dulu mbak soalnya blm punya rumah sendiri :D *doain yaa

    ReplyDelete
  5. ada baiknya juga rumah nggak ada pagar, biar lebih dkt dgn tetangga

    ReplyDelete
  6. Kalau di jawa sih kebanyakan rumah tidak menggunakan pagar. Terlebih apabila rumah joglo. Rumah jogloi cenderung lebih luas bagian halaman depannya, dan pasti tanpa pagar.

    ReplyDelete
  7. Kalau di daerah Cianjur hampir 90 persen rumah g ada pagarnya. Jadi gampang banget komunikasi sama tetangga. tapi resikonya kalau punya tetangga yang kurang baik malah gampang ribut.

    ReplyDelete
  8. Klaster, kelas teri. Hihihi baru tau mbak akronim inih. Sebenarnya saya juga suka rumah tanpa pagar. Tapi kalau kompleksnya terbuka, rasanya ga nyaman jg tanpa pagar.

    ReplyDelete

Mohon meninggalkan berkomentar yang sopan.
Komentar dengan link hidup akan saya hapus.

Terima kasih ^_^

Back to Top