Wednesday, January 20, 2016

Pembuktian Cinta - #LoveStory5



(lanjutan dari Love Story yang ditulis Mbak Maya di blog www.bunda3f.blogspot.com)

Sejak pertemuan dengan keluarga Her di rumah sakit, hubunganku dengan pria yang senang mengenakan kemeja denim itu berlanjut. Her mengenalkan aku dengan papinya, yang bernama Pak Yanto. Tidak ketinggalan aku dipertemukan dengan kedua kakak perempuannya Kak Dinda dan Kak Lisa, serta si bungsunya Atikah. Her adalah satu-satunya anak laki-laki dari empat bersaudara. Papi dan Maminya Her menerimaku dengan baik. Syukurlah. Aku sudah deg-degan. Belum kenal dekat tapi sudah harus bertemu dengan seluruh anggota keluarganya.

   Saat mendebarkan pertemuan pertama Her dengan Papa juga berlangsung dengan lancar. Tidak seperti dugaanku. Papa yang galak malah menyapa Her dengan ramah. Ternyata, Papa sudah kenal dengan Pak Yanto.  Pak Yanto adalah mantan ketua RW. Papa pernah menjadi ketua RT. Pada periode kepengurusan yang sama, Papa dan Pak Yanto kerap dipertemukan dalam rapat warga.

Papa masih ingat pada sosok Her kecil yang kerap mengikuti papinya dalam rapat warga. Tidak heran, Papa langsung mengenali Her ketika saat mengantarku pulang dari rumah dakit. Mereka mengobrol sejenak. Mama juga ikut nimbrung. Sepertinya Papa dan Mama menyukai Her yang sopan, ramah, dan humoris. 

   Beberapa hari kemudian, Pak Yanto sudah diperbolehkan pulang. Tekanan darah tinggi dan gulanya sudah kembali stabil. Aku ikut menemani keluarga Her saat menjemput Pak Yanto dari rumah sakit. Senang sekali bisa berada di tengah keluarga yang baik ini. Semoga suatu saat nanti aku bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Eh aduh, kok aku menghayal terlalu jauh ya. Ditembak jadi pacar juga belum. Sudah kepingin jadi istrinya Her. Ah... inikah namanya cinta?

Sejak tahu alamat rumahku yang sebenarnya, Her sering datang berkunjung dan mengajak pergi bareng. Bahkan Her sudah sering menjemputku di kampus lalu mengantarku pulang. Aku senang. Tidak perlu menunggu dua tahun lagi untuk bisa bertemu lagi dengan Her. Sekarang, kami bisa bertemu kapan saja setelah janjian lewat telepon dan Whatsapp.

Siang itu, Her kembali menjemputku setelah kuliah. Kami pulang bersama. Pria itu menenteng softcase berisi gitar kesayangannya. Dia selalu membawa gitar itu untuk latihan band di kampusnya. Setelah turun dari angkot, kami berjalan kaki menuju rumahku.

Her menghentikan langkahnya saat kami melewati papan nama jalan Cempaka. Jalan menuju rumahku. Bukan di Jalan Akasia seperti yang kukatakan kepadanya dulu.

“May, kita lari pagi , yuk!” ajak Her dengan manis.

“Lari pagi ke mana?” tanyaku.

Kuharap dia akan menjawab: ke hatimuu. Tapi aku salah.

“Lari pagi keliling komplek yang ada di ujung jalan. Yang banyak taman dan masih ada hutan bambunya. Pasti asyik.”

Aku hanya mengangguk setuju. Sebenarnya aku tidak suka berolahraga. Demi pria ini, demi kebersamaan dengannya, aku rela deh membiarkan tubuhku berkeringat.

“Kujemput jam lima pagi, ya!”

“Haah?! Pagi amat!” aku terkejut.

Kira-kira sempet mandi dulu nggak ya? Masa mau kencan tapi nggak sempet mandi. Biasanya hari Minggu adalah jadwal malas mandi pagi. Enaknya tidur sampe siang. Leyeh-leyeh seharian di kasur sambil baca novel atau nonton vcd Korea.

“Ya iya dong! Namanya juga lari pagi. Kalo siang jadi lari siang. Haha!”pria itu tertawa. Tawanya begitu renyah. Aku menatapnya. Saat tertawa, kedua kelopak matanya menyipit. Seolah sedang menutup mata. Bisa jadi dia nggak bakalan sadar jika tiba-tiba kutinggal pergi saat sedang tertawa. Matanya sedang terpejam bukan?

Sampai di rumah, aku teringat sepatu olahraga pink merk Nike yang baru dibelikan Papa sebulan yang lalu. Aku minta Papa membelikan sepatu untuk acara baksos di kampus. Nggak mungkin kan, mondar-mandir di acara Baksos pake wedges? Pegel pastinya.

Nah lupa kan, di mana menaruh sepatu pink itu. Duh, mau kencan lari pagi masa nggak pakai sepatu olahraga. “Ma... lihat sepatu pink Maya nggak?” aku sudah capek mencari ke setiap sudut rumah. Sepatu itu tidak ada.

“Oh sepatu kamu tadi dipinjem Mila. Nggak apa-apa kan?” sahut Mama dari dapur.

Apa? Adikku yang berbadan bongsor ini meminjam sepatuku tanpa ijin? Duh, nyebelin! Awas kalau dia pulang nanti!

Tidak lama kemudian Mila pulang dari sekolah. Dia cuma nyengir saat menatapku yang sudah menunggunya di teras rumah.

“Ya ampun, Milaaa! Kamu abis nyebur ke sawah ya? Kamu apain sepatu Kakaak???” aku terpekik melihat sepatuku yang penuh lumpur.

“Eh itu... anu... Mila tadi kecebur ke tanah becek. Maafin Mila ya, Kak.”  Jawab Mila sambil tertunduk. Sebagai satu-satunya saudara kandung dengan beda usia cukup jauh, aku tidak tega memarahi Mila.

Grrrh! Gimana nih? Terpaksa aku buru-buru mencuci sepatu. Bisa kering nggak ya? Pasrah aja deh...

TOK! TOK! TOK!

Tepat pukul lima pagi, Her mengetuk pintu pagar rumahku. Aku segera bergegas ke luar rumah. Subuh tadi sudah bela-belain mandi dulu demi penampilan yang aduhai. Celana training abu-abu dan kaos pink kukenakan serasi dengan warna sepatu. Kuikat ekor kuda rambutku yang panjang. Sempurna.

Sedikit kikuk, aku berjalan memakai sepatu yang masih belum kering benar. Ah, Her tidak akan tahu kalau aku pakai sepatu basah. Nyess! Kaos kakiku langsung terasa dingin. Air yang masih ada pada sepatu membuat kaos kakiku langsung basah. Semoga kakiku tidak jamuran.

Setelah berpamitan pada Papa dan Mama, kami berlari kecil menuju komplek perumahan di ujung jalan. Di komplek ini banyak taman dengan pohon rindang. Banyak warga menikmati suasana pagi yang asri sambil berolah raga.

Sambil berlari, kami berdua bercanda dan tertawa bersama. Menghabiskan waktu bersama Her selalu menyenangkan. Dia lucu. Suka membuatku tertawa. Ditambah wajah tampannya membuat dia terlihat sangat menggemaskan. Tidak heran banyak gadis-gadis yang melirik saat kami berjalan bersama. Pesona pria ini memang tidak bisa membuat mata berpaling.  

Termasuk ketika lari pagi di komplek. Lirikan genit para gadis yang berpapasan dengan kami membuatku jengah. Mereka berbisik-bisik. Pasti lagi ngomongin kegantengan Her! Duh, aku terbakar cemburu!

“Duduk di situ, yuk!” Her mengajakku untuk beristirahat.  Jantungku sempat berhenti ketika Her menyentuh tanganku. Dia menarik tanganku dengan lembut. Kami duduk di bangku taman yang teduh dengan latar belakang hutan bambu.

Sambil mengobrol dengan Her, mataku mencari para gadis centil itu. Eh, itu dia! Mereka ikut-ikutan duduk untuk mengamati kami. Dan sekarang, mereka melirik kepadaku! Kembali berbisik-bisik. Lirikan matanya terlihat sinis. Mencemooh. Oh tidak! Apakah mereka membicarakan fisikku? Kulitku yang hitam ini mungkin terlihat kontras saat berjalan dengan Her. Atau wajahku yang biasa-biasa saja? Atau badanku yang pendek tidak pantas berdampingan dengan pria yang tinggi semampai? Ah... kenapa aku jadi baper begini.

“May, lihat deh rumpun bambu di belakang sana.” Her membuyarkan pikiranku tentang gadis-gadis itu.

“Iya, kenapa? Hutan bambu kayak horor gitu. Serem. Gelap.” Kataku sambil bergidik. Membayangkan ada hantu yang muncul dibalik bayangan pohon bambu yang gelap. Belum lagi tumpukan daun kering di bawahnya. Mana bisa lewat? Kaki sudah pasti bakal kelelep. Apalagi bisa aja ada binatang berbahaya macam ular atau kalajengking... hiii!

“Aku berani muterin satu rumpun bambu itu.” Kata Her sambil bangkit dari bangku taman.

“Eh? Beneran? Itu serem banget lho! Kamu berani? Jangan deh. Kalau ada ular di balik gundukan  daun kering itu gimana?”

“Nggak kok. Lihat ya!”

“Her, tunggu!”

Terlambat. Her sudah berlari ke hutan bambu. Aku mengikutinya dengan jantung yang berdegup keras. Aduh, Her. Ngapain sih kamu? Iseng banget deh!

Sambil tertawa, Her memutari satu rumpun bambu. Langkahnya sedikit tertahan oleh tumpukan daun kering. “Maya! Aku berhasil nih! Yuhuuu!” pekiknya riang.

“Her, udah! Balik sini!” aku mulai cemas. Kalau ada hantu menyergap dan menyeret Her ke dalam hutan bambu gimana? Duh, kebanyakan baca novel horor nih!

“Aku mau puterin yang di sana!” pria itu masuk ke dalam hutan bambu.

“Her! Jangan!” aku panik. Kulihat gadis-gadis centil itu sudah tidak kelihatan. Jangan-jangan mereka lari karena melihat hantu. Nah lho! Aku minta tolong sama siapa nih? Nggak ada orang lagi di sekeliling kami.

“Her...” panggilku dengan tenggorokan tercekat.

Matahari baru terbit. Rimbunan hutan bambu menghangi cahaya matahari yang masih malu-malu. Aku memanggil Her berulang kali. Namun tidak ada jawaban. Her seolah menghilang ditelan kegelapan.

Pria ini memang suka usil. Dia suka menggoda hingga pipiku merah bak kepiting rebus. Tapi menggodaku dengan sok berani masuk ke hutan bambu? Nggak lucu, Her!

Aku memberanikan diri menyusul masuk ke dalam hutan. Langkahku tertatih saat menyibak timbunan daun kering di sekitar pohon bambu. Rumpun pertama yang tadi diputari oleh Her sudah kulewati. Lalu, pria itu tadi mau memutari rumpun bambu yang mana ya?

Dengan gemetar, aku berjalan perlahan. “Her...” bisikku. Aku tidak mau berteriak memanggil Her. Aku takut ada hantu yang mendengar. Sesekali kulirik kakiku. Memastikan tidak ada ular yang muncul.

Tiba-tiba...

“Dor!” Her mengejutkanku dari balik rumpun bambu.

Aku terduduk lemas. 

“Her... kamu...” aku menangis.

“Maya, maaf. Kamu... kamu kenapa nangis?”

“Kamu jahat! Aku takut ada apa-apa sama kamu! Kalau kamu diculik hantu gimana? Kalau kamu digigit ular aku harus gimana? Kalau kamu...” aku tidak sanggup bicara lagi. 

Aku memukuli dadanya. Lalu tiba-tiba aku merasa lemas dan jatuh terduduk. Suasana menjadi hening.

“Maya... kamu... kamu sungguh peduli sama aku?” Her berlutut di hadapanku. 

Diantara timbunan daun bambu kering, kami berdua duduk bersimpuh dan saling berhadapan.

“Kamu takut terjadi sesuatu denganku?” tanya Her perlahan. Aku mengangguk.

Pria itu mengusap air mataku dengan ujung jarinya. Dia tersenyum. Senyum yang sangat manis. Aku menghentikan tangisanku. Menatap kedua matanya yang berbinar.

“Aku senang. Berarti kamu peduli sama aku. Berarti kamu punya perasaan sama aku. Maya, aku sayang kamu. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali kita bertemu di -angkot.”

Her terdiam sejenak. Menatap wajahku dengan sorot mata yang khas. Tatapan yang sama saat aku bertemu dengannya dulu.

“Maya, kamu mau kan... jadi pacarku?”

Aku terdiam. Terhanyut dalam perasaan bahagia. Rasanya jantung ini mau meledak. 

Aku mengangguk dan menjawab “Iya Her, aku mau jadi pacar kamu.”

Ah... bahagianya hati ini! Kami berdua saling bertatapan dan tersenyum penuh arti.

“Yuk, kita pulang.” Her membantuku berdiri. Lututku masih lemas karena perasaan tegang tadi. Her memapahku keluar dari hutan bambu. Tumpukan daun kering kami sibak dengan perlahan. Her juga memperhatikan jalan, memastikan tidak ada ular atau binatang lain di dekat kaki kami.

Saat menatap ke bawah, Her melihat ada sesuatu yang aneh.

“Maya, sepatu kamu...”

Astaga! Sepatu yang belum kering ini dengan mudah menyerap kotoran.  Semua debu dan tanah pasti menempel saat aku berjalan melewati tumpukan daun kering. Warna pink berubah menjadi coklat muda yang kumal. Beberapa remahan daun berwarna abu-abu gelap ikut menempel di kulit sepatu yang basah. Bahkan kedua kaos kakiku ikut tertutup 'adonan' yang sama. Betul-betul penampakan yang aneh!

Aku tertawa. Her ikut tertawa. Antara tawa geli bercampur tawa bahagia.


Tulisan ini diikutsertakan dalam
Giveaway Kisah Cinta Bunda 3F - #LoveStory


11 comments :

  1. ending yang manis mak, meski kikuk pasti seneng banget yak :)

    ReplyDelete
  2. ending yang unik mak, meski kikuk tapi seneng pasti :)

    ReplyDelete
  3. tapi kalau sepatunya basah dipake ntar bau loh...hehehe...eh ternyata mbak inna pintar bikin cerpen juga ya... semoga menang mbak :)

    ReplyDelete
  4. Mau kemana? Ke hatimuuuuuu... ahhahahaa... bagus mbae, demi her bela belain deh pake sepatu basah ya

    ReplyDelete
  5. Xixixiixii..
    Itu maya terlalu asik nyariin Her. Smpe2 ga sadar klo sepatunya udh menyatu seperti tanah. Hhhhheee

    Salam kenal... ^_^

    ReplyDelete
  6. Cooo cweeeeeetttt.....
    Semoga menang maksay :*

    ReplyDelete
  7. Aku sih lebih takut bau daripada takut nggak kece. Haha.
    Mbak Inna bikin aku seger, ih, gara-gara "takut diculik hantu".

    ReplyDelete
  8. Wahh sepatunya. Makasih dah ikutan ya mak

    ReplyDelete
  9. Balada sepatu basah , demi cinta yaaa, baguuus

    ReplyDelete

Mohon meninggalkan berkomentar yang sopan.
Komentar dengan link hidup akan saya hapus.

Terima kasih ^_^

Back to Top